| KLIT HOME | Berita / gosip terbaru KLIT | Photo Founder KLIT | Photo sOP KLIT | Photo aOP KLIT | Photo Lesbian other |
| Cerita-cerita HOT | Photo-photo HOT | Movie-movie HOT | Daftar hitam wanita | Artikel umum | IRC Help |
|
IRC tools | Download | Bintang zodiak | Ramalan cuaca | Serba-serbi | FORUM | Log Out |


Saat Pernikahan Datang Mengetuk
penulis : R1per - r1per@yahoo.com

Halaman 1 | Halaman 2

"Sudah merupakan kodrat setiap wanita untuk menikah dan berumah-tangga." Rasanya kata-kata ini sudah tidak asing lagi bagi seluruh wanita yang hidup di muka bumi ini. Bahkan, kalau boleh dikatakan, kata-kata tersebut sudah menjadi pedoman hidup bagi hampir setiap wanita. Saya katakan hampir, karena pada kenyataannya, tidak semua wanita setuju dengan pendapat di atas.
Saya salah satu contohnya.

Datang dari latar belakang keluarga yang masih ketat dalam tradisi dan adat-istiadat, sebagai seorang anak perempuan satu-satunya, saya sadar akan harapan kedua orang-tua saya agar saya kelak menikah dengan seorang pria baik-baik, membina rumah-tangga yang harmonis, serta melahirkan cucu-cucu yang sehat bagi orang-tua saya.

Namun, sebagai seorang lesbian, saya pun telah menyadari bahwa saya berbeda dengan orang kebanyakan sejak saya duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu saya masih belum mengerti apa itu homoseksual, apa itu lesbian.Yang saya tahu hanyalah bahwa saya memiliki perasaan ketertarikan yang kuat, yang jauh melebihi daripada perasaan sekedar teman, terhadap sesama teman perempuan saya.

Perasaan itu semakin kuat saat saya menginjakkan kaki ke dalam dunia remaja. Sama halnya seperti teman-teman perempuan saya yang lainnya, saya mulai mendambakan memiliki seseorang yang mencintai saya, yang juga saya cintai, untuk menjadi teman hidup saya. Sayapun mulai memiliki mimpi dan angan-angan untuk dapat hidup bersama dengan orang yang saya kasihi.

Hanya bedanya, tidak seperti teman-teman perempuan saya, orang yang saya impikan untuk dapat menghabiskan waktu bersama-sama dengan saya bukanlah lawan jenis saya, tetapi justru teman sesama jenis. Dan baru pada saat itulah saya sadar bahwa saya memiliki orientasi seksual yang berbeda; bahwa saya ternyata seorang lesbian, dan bahwa pikiran untuk menikah dengan seorang pria amatlah menakutkan bagi saya.

Tetapi pada saat itu, semua itu belum terlalu saya rasakan sebagai beban pikiran yang harus saya khawatirkan. Saya masih remaja, dan saya merasa bahwa belum perlu bagi saya untuk memusingkan diri terlalu banyak dengan hal-hal yang masih belum saatnya. Pikiran saya sewaktu itu masih lebih terkonsentrasi penuh kepada hal-hal lain yang lebih "fun," bolos sekolah, menyiapkan contekan, dll.

Akan tetapi, waktu tidak pernah berhenti dan saya tidak selamanya berusia 17 tahun. Seiring dengan berjalannya waktu, saya sadar bahwa saya tidak dapat menghindar selamanya; bahwa cepat atau lambat, masalah jodoh akan menjadi topik yang semakin menekan dalam hidup saya. Dan siap atau tidak, saat topik pernikahan datang mengetuk pintu usia, saya harus dapat menghadapinya dengan seluruh penjelasan yang masuk akal.

Semakin hari, saya semakin merasakan bahwa tekanan serta beban untuk menikah semakin berat, dan saya semakin dihadapkan pada situasi yang semakin sulit setiap harinya.

Pertanyaan yang awalnya dilontarkan sebagai gurauan, perlahan-lahan lebih terdengar seperti kekhawatiran dan tuntutan. Dari "Mana pacar kamu?" menjadi "Kok sampai sekarang belum ada pacar sih?"

Awalnya pertanyaan seperti itu masih dapat dengan mudahnya saya elakkan. Seperti yang sudah-sudah, saya selalu berkelit dengan menggunakan sekolah sebagai alasan utama. "Belum ada, lagian masih muda kok, masih belum mikirin soal pacaran. Mau mikirin sekolah dulu," itu yang dulu selalu menjadi alasan saya.

Sampai tiba saatnya di mana saya sudah lulus sekolah, lulus kuliah, lalu bekerja, dan saya masih saja tetap tidak mempunyai teman pria yang dapat dikategorikan sebagai "pacar." Keluarga mulai bertanya-tanya. Sayapun mulai resah. Resah bukan karena saya tidak mempunyai teman pria (pacar), akan tetapi resah karena saya bingung alasan apalagi yang hendak saya ajukan, yang dapat digunakan sebagai jawaban yang "masuk akal."

Kalau dulu saya masih bisa beralih dengan alasan ingin sekolah terlebih dahulu, kini tidak mungkin lagi saya mengajukan alasan yang sama. "Lha wong kamu telah lulus sekolah dan bekerja kok," itu kira-kira mungkin yang akan dikatakan oleh keluarga saya.

Lalu, apalagi yang mungkin dan bisa saya katakan sebagai alasan? Ingin berkonsentrasi dengan pekerjaan dulu? Sampai kapan? Itu pasti yang menjadi pertanyaan orangtua saya.

"Kodratmu kan seorang wanita, yang kelak sudah seharusnya berumah-tangga, gak usah terlalu sukses lah, nanti cowok-cowok pada takut lagi untuk ngejar kamu Lagian, ngapain sih kamu kerja cape-cape? Yang penting kan punya suami baik, pintar mencari uang dan rajin bekerja, nanti hidupmu juga enak." Rasanya saya bisa mendengar komentar ibu saya yang sepertinya telah diucapkan berulang-ulang dan telah pula didengar berulang-ulang oleh saya, layaknya memutar lagu lama.

Sempat saya merasa terbeban, kesal, dan marah terhadap orangtua saya. Mengapa mereka seakan-akan memaksa saya untuk menikah? Mengapa mereka berlaku seakan-akan jika saya tidak menikah, saya akan membawa malu bagi mereka? Mengapa mereka lebih medengar dan memperhatikan apa kata orang daripada mendengar dan memperhatikan apa kemauan saya? Kalau memang begitu inginnya mereka mengadakan pesta pernikahan, mengapa bukan mereka saja yang menikah lagi?

Itu semua sempat mengisi pikiran dan perasaan saya. Saya benar-benar tidak mengerti mengapa mereka begitu "bernafsu-nya" menikahkan saya. Memangnya saya ini anak kambing yang harus dinikahkan?

Saya sempat merasa putus asa dan berpikir untuk menikah karena saya tidak melihat adanya pilihan lain yang bisa saya ambil, yang dapat memberikan saya kebebasan dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dalam menjalani hidup saya sebagai seorang lesbian.

Sebaliknya, saya sempat berpikir bahwa mungkin dengan menikah, saya bisa hidup dengan lebih tenang, tanpa perlu diusik lagi dengan masalah pernikahan, dan tanpa perlu merasa terbeban dengan segala macam pikiran mengenai tugas dan tanggung jawab sebagai seorang anak perempuan karena toh, saya telah menjalani kewajiban saya: menikah. Tetapi, hati nurani saya berkata lain.

Sebagai manusia, kita bisa saja membohongi orang lain, akan tetapi kita tidak akan pernah bisa membohongi perasaan kita sendiri. Dan itulah yang dibisikkan oleh hati nurani saya. Bahwa saya tidak boleh menikah karena terpaksa. Saya tidak bisa.

Tulisan diambil dari salah satu sumber di internet [swara srikandi]

Kembali ke artikel utama


 

Anda ingin mempunyai email dari situs Klit
user@klit.i-p.com segera klik ini

   

Contact email to founder : wienda_mansion@yahoo.com
Contact email to webmaster : klit_dalnet@yahoo.com

 

| BuKu TaMu | FoRuM | Log Out |


Copyright (c) Klit Generation 2003, Yogyakarta, Indonesian